BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Jumlah
penderita Arthritis Rheumatoid di dunia saat ini telah mencapai angka 355 juta
jiwa. Artinya 1 dari 6 penduduk bumi menderita penyakit arthritis rheumatoid
(WHO, 2010). Sedangkan di Indonesia prevalensi Nyeri Arthritis rheumatoid 23,3%
- 31,6% Dari jumlah penduduk Indonesia (Zeng Q.Y, 2010).
Menurut
Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat Pada tahun 2010, penderita
arthritis rheumatoid umur 45-54 tahun sebanyak 2.608 jiwa, umur 55-59 tahun
sebanyak 1.902 jiwa, umur 60-69 tahun sebanyak 740 jiwa, umur lebih dari 70
tahun sebanyak 532 jiwa. Tahun 2011 penderita arthritis rheumatoid di Provinsi
Sulawesi Barat, umur 45-54 tahun sebanyak 2.987 jiwa, umur 55-59 tahun sebanyak
1.905 jiwa, umur 60-69 tahun sebanyak 806 jiwa, dan umur lebih dari 70 tahun
sebanyak 589 jiwa.
Berdasarkan
Data yang diperoleh dari medical record RSUD Mamuju jumlah pasien yang
menderita arthritis rheumatoid pada tahun 2011 sebanyak 307 pasien dan
meningkat pada tahun 2012 sebanyak 413 pasien. Untuk itu perlu perhatian khusus
terutama dalam hal meminimalkan intensitas nyeri dan komplikasinya.
Untuk
mengimbangi pesatnya perkembangan IPTEK
dibidang kesehatan serta tingkat pengetahuan masyarakat yang semakin tinggi
menuntut upaya penyelenggaran kesehatan yang lebih bermutu. Profesi keperawatan
diupayakan untuk memenuhi pelayanan kearah kesatuan upaya peningkatan
(promotive), pencegahan (preventive), penyembuhan (curative), dan pemulihan (rehabilitative)
yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Menanggapi hal itu,
proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan equilibrium fisiologi pasien,
menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan
intervensi segera membantu pasien dalam kembali kefungsi optimalnya dengan
cepat, aman dan senyaman mungkin (Smeltzer, 2001).
Setiap
individu pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu. Nyeri merupakan
alasan yang paling umum orang mencari perawatan kesehatan. Nyeri bersifat subyektif
dan tidak ada individu yang mengalami
nyeri yang sama. Untuk itu perawat perlu mencari pendekatan yang paling
efektif dalam upaya pengontrolan nyeri
(Potter, 2005).
Nyeri
merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari
kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri terjadi bersama banyak
proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik, pembedahan
dan pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang
dibanding suatu penyakit manapun (Smeltzer, 2001).
Salah
satu ketakutan terbesar klien Arthrtis rheumatoid adalah nyeri, padahal Untuk
itu perawat perlu memberikan informasi pada klien dan keluarga klien tentang
terapi yang tersedia untuk menghilangkan nyeri diantaranya latihan relaksasi.
Klien harus mengetahui lamanya waktu yang diperlukan obat untuk bekerja dan
seringkali tidak semua rasa tidak nyaman tersebut bisa hilang sama sekali
dengan menggunakan obat analgetik (Potter, 2005).
Banyak
klien Arthritis rheumatoid yang sering menghindarkan minum obat penghilang rasa
nyeri karena takut menjadi ketergantungan. Namun sebagian besar dosis obat dan
interval yang dibutuhkan antara waktu pemberianya tidak cukup besar sehingga
dapat menimbulkan ketergantungan. Untuk itu perawat harus mendorong klien
menggunakan analgetik seseuai dengan kebutuhan (Potter,
2005).
Penatalaksanaan nyeri Arthritis rheumatoid dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu secara farmakologis dan non farmakaologis. Menangani
nyeri secara farmakologis dilakukan kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian analgetik. Sedangakan tindakan non farmakologis
salah satunya adalah dengan memberikan
teknik relaksasi
pada pasien Arthritis rheumatoid ( Smeltzer, 2001).
Banyak
pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai
satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun begitu, banyak aktivitas
keperawatan nonfarmakologis yang dapat membantu dalam menghilangkan nyeri.
Metode
pereda nyeri nonfarmakologis biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah. Meskipun
tindakan-tindakan tersebut merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan
tersebut mungkin diperlukan atau sesuai untuk mempersingkat episode nyeri yang
berlangsung hanya beberapa detik atau menit (Smeltzer, 2002).
Teknik
relaksasi merupakan metode yang dapat dilakukan terutama pada pasien yang
mengalami nyeri, merupakan latihan pernafasan yang menurunkan konsumsi oksigen,
frekuensi pernafasan, frekuensi jantung dan ketegangan otot yang menghentikan
siklus nyeri, ansietas dan ketegangan otot. Teknik relaksasi perlu diajarkan
bebarapa kali agar mencapai hasil yang optimal dan perlunya instruksi
menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan atau mencegah meningkatnya nyeri.
Penelitian
Tunner dan Jansen (1993), Almatsier dkk (1992) dalam Smeltzer, (2001),
menyimpulkan bahwa relaksasi otot skletal dapat menurunkan nyeri dengan
merilekskan ketegangan otot yang dapat menunjang nyeri hal ini dibuktikan pada
penderita nyeri punggung bahwa teknik relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri
pada pasien nyeri punggung. Penelitian Lorenzi, (1991) Miller & Perry,(1990)
dalam Smeltzer, (2002), telah menunjukkan bahwa teknik relaksasi dapat
menurunkan nyeri Arthritis rheumatoid, hal ini terjadi karena relatif kecilnya
peran otot-otot skletal dalam nyeri arthritis rheumatoid atau kebutuhan pasien
untuk melakukan tekhnik relaksasi agar efektif. Hal ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Juanda (2006) setelah dilakukan perlakuan pada
kelompok eksperimen arthritis rheumatoid terdapat penurunan tingkat nyeri yang sangat signifikan. Hal ini dikarenakan
pelaksanaan teknik relaksasi yang cukup efektif.
Dari
hasil survey sementara yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Mamuju, umumnya
perawat tidak melakukan teknik relaksasi pada pasien yang mengalami nyeri
khususnya pasien arthritis rheumatoid, karena perawat hanya melaksanakan
instruksi dokter berupa pemberian analgetik. Sehingga pasien masih mengalami
gangguan rasa nyaman nyeri pada saat reaksi analgetik sudah hilang.
Mengingat
betapa pentingnya pentingnya penatalaksanaan tindakan nonfarmakologis dalam
perubahan intensitas nyeri pada pasien arthritis rheumatoid maka penulis
tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Teknik Relaksasi
Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Arthritis Rheumatoid Di RSUD
Mamuju Tahun 2012”.
B.
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah
“Apakah ada Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap penurunan intensitas nyeri pada
pasien Arthritis rheumatoid Di RSUD Mamuju tahun 2012 ? ”.
C.
Tujuan
Penelitian
1.
Tujuan Umum.
Untuk
mengetahui pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien Arthritis rheumatoid Di RSUD Mamuju
Tahun 2012
2.
Tujuan Khusus
a.
Mengidentifikasi
intensitas nyeri pada pasien Arthritis rheumatoid sebelum teknik relaksasi Di RSUD
Mamuju tahun 2012.
b.
Mengidentifikasi
intensitas nyeri pada pasien Arthritis rheumatoid setelah teknik relaksasi Di
RSUD Mamuju tahun 2012.
c.
Mengidentifikasi
pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien
Arthritis rheumatoid Di RSUD Mamuju tahun2012.
D.
Manfaat Penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai :
1.
Maanfat praktis
a.
Bagi Sumah Sakit Umum
Daerah Mamuju
Bahan masukan kepada pihak RSUD
Mamuju, terutama kepada bidang keperawatan dalam meningkatkan kualitas
pelayanan keperawatan dengan memberikan teknik relaksasi untuk penurunan
intensitas nyeri pada pasien Arthritis rheumatoid.
b.
Bagi institusi
Dapat dijadikan tambahan pustaka
dan referensi untuk penelitian selanjutnya
2.
Manfaat bagi ilmu
pengetahuan
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang dapat menambah
wawasan khususnya mengenai penanganan nyeri arthritis rheumatoid.
3.
Manfaat bagi peneliti
Penelitian
ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peneliti dan menggali wawasan serta
mampu menerapkan ilmu yang telah didapatkan tentang penatalaksanaan intensitas
nyeri agar dapat merencanakan dan melakukan evaluasi permasalahan dan pemecahan
masalah terutama yang berkaitan dengan kasus nyeri arthritis rheumatoid.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan
Tentang Intensitas Nyeri
1. Defenisi
Nyeri
adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan (International
Association for Study of Pain, IASP 2001).
Mendefinisikan,
nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang yang keberadaannya
diketahui hanya jika orang tersebut pernah mengalaminya (Mc. Coffery, 2001).
Mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu perasaan menderita
secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan ketegangan (Wolf Weifsel Feurst, 2001).
Nyeri
merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang
dirusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan
rangsangan nyeri (Arthur C. Curton, 2000).
2.
Penyebab Nyeri
a.
Trauma:
1)
Mekanik, Rasa nyeri timbul akibat ujung-ujung saraf bebas
mengalami kerusakan. misalnya
akibat benturan, gesekan, luka dan lain-lain.
2)
Thermis, Nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat
rangsangan akibat panas dan dingin. misal karena api dan air.
3)
Khemis, Timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam
atau basa kuat.
4)
Elektrik, Timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai
reseptor rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.
b.
Peradangan, Nyeri terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor
akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan. Misalnya : abses
c.
Gangguan sirkulasi darah
dan kelainan pembuluh darah
d.
Gangguan pada jaringan
tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.
e.
Tumor, dapat juga menekan
pada reseptor nyeri.
f.
Iskemi pada jaringan,
misalnya terjadi blokade pada arteri koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri
akibat tertumpuknya asam laktat.
g.
Spasme otot, dapat
menstimulasi mekanik.
3.
Fisiologi nyeri
Reseptor
nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ
tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam
kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak.
Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri
(nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin
dari syaraf perifer.
Berdasarkan
letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu
pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul
juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor
kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri
yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan.
Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a.
Reseptor A delta
Merupakan
serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan
timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b.
Serabut C
Merupakan
serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada
daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur
reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang,
pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit
dilokalisasi.
Reseptor
nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ
viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul
pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
4.
Klasifikasi
Nyeri
a.
Menurut tempatnya:
1)
Periferal Pain
a)
Superfisial Pain (Nyeri
Permukaan)
b)
Deep Pain (Nyeri Dalam)
c)
Reffered Pain (Nyeri
Alihan), nyeri
yang dirasakan pada area yang bukan merupakan sumber nyerinya.
2)
Central Pain, Terjadi karena perangsangan pada susunan saraf pusat,
spinal cord, batang otak dan lain-lain.
3)
Psychogenic Pain, Nyeri dirasakan tanpa penyebab organik, tetapi akibat
dari trauma psikologis.
4)
Phantom Pain, Phantom Pain merupakan perasaan pada bagian tubuh yang
sudah tak ada lagi. contohnya
pada amputasi,
Phantom pain timbul akibat dari stimulasi dendrit yang berat dibandingkan
dengan stimulasi reseptor biasanya. Oleh karena itu, orang tersebut akan merasa nyeri pada area yang telah
diangkat.
5)
Radiating Pain, Nyeri yang dirasakan pada sumbernya yang meluas ke
jaringan sekitar.
6)
nyeri somatis dan nyeri
viseral
7)
kedua nyeri ini umumnya
bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit (superfisial) pada otot dan
tulang.
b.
Menurut Sifatnya:
1)
Insidentil : timbul
sewaktu-waktu dan kemudian menghilang.
2)
Steady : nyeri timbul
menetap dan dirasakan dalam waktu yang lama.
3)
Paroxysmal : nyeri
dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali dan biasanya menetap 10 – 15 menit, lalu menghilang dan kemudian
timbul kembali.
4)
Intractable Pain : nyeri
yang resisten dengan diobati atau dikurangi. Contoh pada arthritis, pemberian
analgetik narkotik merupakan kontraindikasi akibat dari lamanya penyakit yang dapat mengakibatkan kecanduan.
c.
Menurut Berat Ringannya :
1)
Nyeri ringan : dalam
intensitas rendah
2)
Nyeri sedang :
menimbulkan suatu reaksi fisiologis dan psikologis
3)
Nyeri Berat : dalam
intensitas tinggi
d.
Menurut Waktu Serangan
nyeri:
1)
Nyeri Akut
Nyeri akut biasanya berlangsung singkat, misalnya nyeri
pada fraktur. Klien yang mengalami nyeri akut baisanya menunjukkan
gejala-gejala antara lain : perspirasi meningkat, Denyut jantung dan Tekanan
darah meningkat, dan pallor
2)
Nyeri Kronis
Nyeri kronis berkembang lebih lambat dan terjadi dalam
waktu lebih lama dan klien sering sulit mengingat sejak kapan nyeri mulai
dirasakan.
5.
Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran
tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas
nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas
yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang
yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin
adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun,
pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang
nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah
sebagai berikut :
a.
skala intensitas
nyeri deskritif
b.
Skala identitas nyeri numerik
c.
Skala analog
visual
d.
Skala nyeri menurut bourbanis
Keterangan
:
1)
0 : Tidak nyeri
2)
1-3 : Nyeri ringan : secara
obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
3)
4-6 : Nyeri sedang : Secara
obyektif klien mendesis, menyeringai,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
4)
7-9 : Nyeri berat : secara
obyektif klien terkadang tidak dapat
5)
mengikuti perintah tapi masih respon
terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya,
tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
6)
10 : Nyeri sangat berat :
Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri
adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali
diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah.
Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke
waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran
tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal
Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai
lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak
tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk
memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling
tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori
untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating
scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata.
Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling
efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan
patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale,
VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili
intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi
keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih
sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari
pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala
tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien
melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi
nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya
mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi
klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih
memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan
(Potter, 2005).
6.
Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
a.
Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah
patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri
yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus
dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika
nyeri diperiksakan.
b.
Kultur
Orang
belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri
misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat
yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak
mengeluh jika ada nyeri.
c.
Makna nyeri Berhubungan dengan
bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
d.
Ansietas Cemas meningkatkan
persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
e.
Pengalaman masa lalu Seseorang
yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang
sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya
seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi
nyeri.
f.
Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi
nyeri.
g.
Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota
keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
B. Tinjauan Tentang Teknik
Relaksasi
1.
Definisi
Relaksasi adalah salah satu tehnik
dalam terapi perilaku yang dikembangkan oleh Jacobson dan Wolpel untuk
mengurangi ketegangan dan kecemasan (Ramdhani dan Putra, 2006 ).
Teknik
relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal
ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam,
napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan
napas secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik
relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan
oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).
Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang
mengalami nyeri kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan
konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot,
yang menghentikan siklus nyeri-ansietas-ketegangan otot (McCaffery, 2002).
2.
Tujuan
Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.
Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.
3.
Prosedur teknik relaksasi napas
dalam (Priharjo, 2003) Bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini
adalah pernapasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diagfragma
selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan
dengan desakan udara masuk selama inspirasi (Priharjo, 2003). Adapun
langkah-langkah teknik relaksasi napas dalam adalah sebagai berikut :
a.
Ciptakan lingkungan yang tenang
b.
Usahakan tetap rileks dan
tenang
c.
Menarik nafas dalam dari hidung
dan mengisi paru-paru dengan udara melalui hitungan 1,2,3 Perlahan-lahan udara dihembuskan
melalui mulut sambil merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks
d.
Anjurkan bernafas dengan irama
normal 3 kali
e.
Menarik nafas lagi melalui
hidung dan menghembuskan melalui mulut secara perlahan-lahan
f.
Membiarkan telapak tangan dan
kaki rileks
g.
Usahakan agar tetap konsentrasi
/ mata sambil terpejam
h.
Pada saat konsentrasi pusatkan
pada daerah yang nyeri
i.
Anjurkan untuk mengulangi
prosedur hingga nyeri terasa berkurang
j.
Ulangi sampai 15 kali, dengan
selingi istirahat singkat setiap 5 kali.
k.
Bila nyeri menjadi hebat,
seseorang dapat bernafas secara dangkal dan cepat.
4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
teknik relaksasi napas dalam terhadap penurunan nyeri
Teknik relaksasi napas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu :
Teknik relaksasi napas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu :
a.
Dengan merelaksasikan otot-otot
skelet yang mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin
sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah
ke daerah yang mengalami spasme dan iskemic.
b.
Teknik relaksasi napas dalam
dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod endogen yaitu
endorphin dan enkefalin (Smeltzer & Bare, 2002)
c.
Mudah dilakukan dan tidak
memerlukan alat
Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu.
Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu.
Prinsip
yang mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi
sistem syaraf otonom yang merupakan bagian dari sistem syaraf perifer yang
mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu. Pada saat terjadi
pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan substansi, akan
merangsang syaraf simpatis sehingga menyebabkan vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan
tonus otot yang menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya
menekan pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan
metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis
ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri.
BAB
III
KERANGKA
KONSEP
A.
Dasar
Pemikiran Variabel
Nyeri
adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat
terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan
kondisi terjadinya kerusakan (International
Association for Study of Pain, IASP 2001).
Rheumatoid
arthritis merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh
diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan peradangan
dalam waktu lama pada sendi. Penyakit ini menyerang persendian, biasanya
mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan radang pada membran sinovial dan
struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang (Susan Martin
Tucker, 2008).
Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang
mengalami nyeri kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan
konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot,
yang menghentikan siklus nyeri-ansietas-ketegangan otot (McCaffery, 2002).
Jadi, Pada Penderita Arthritis Rheumatid terjadi peradangan pada
sendi yang menyebabkan nyeri kronis. Teknik Relaksasi merupakan metode yang
efektif untuk mengurangi intensitas nyeri terutama pada nyeri kronis
B.
Intensitas Nyeri
pada Arthritis rheumatoid
|
Teknik relaksasi
|
-Pengalaman
-masa
lalu
-Pola koping
-Makna
nyeri
Ansietas Cemas
a.
Kultur
b.
Usia
|
Keterangan : :
Variabel Independen
: Variabel
Dependen
: Variabel yang Tidak Diteliti
C.
Definisi
Operasional dan Kriteria Objektif
1.
Intensitas Nyeri
a.
Definisi operasional
Intensitas Nyeri dalam Penelitian Ini adalah
tingkat keparahan nyeri yang di ukur dengan menggunakan skala Deskriptif.
b.
Kriteria Objektif
1)
Skala 0 : Tidak nyeri
2)
Skala 1-3 : Nyeri ringan :
secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
3)
Skala 4-6 : Nyeri sedang :
Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya,
dapat mengikuti perintah dengan baik.
4)
Skala 7-9 : Nyeri berat :
secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya.
5) Skala
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
2.
Teknik relaksasi
a.
Definisi operasional
teknik
relaksasi dalam penelitian ini adalah teknik menurunkan konsumsi oksigen,
frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot, yang menghentikan
siklus nyeri-ansietas-ketegangan otot.
b.
Kriteria Objektif
Bentuk
pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan diafragma yang
mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan
pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama
inspirasi.
D.
Hipotesis
Penelitian
Dari
kerangka teori diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah “Ada Pengaruh
Teknik Relaksasi Terhadap penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Arthritis
Rheumatoid di RSUD Mamuju tahun 2012”.
BAB
IV
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan jenis penelitian observasional dengan pendekatan cross
sectional study yang menghubungkan variable independen dengan variable dependen
pada saat bersamaan.
Dalam
penelitian ini akan mengamati objek yang diteliti dengan mengukur pengaruh teknik
relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien arthritis rheumatoid
di RSUD Mamuju tahun 2012 pada saat yang bersamaan.
B.
Waktu
Dan Tempat Penelitian
Penelitian
ini akan dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2012 di Rumah
Sakit Umum daerah (RSUD) Mamuju.
C.
Populasi
dan Sampel, dan sampling
1. Populasi
Populasi
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh Pasien Arthritis Rheumatoid
yang dirawat di RSUD Mamuju pada bulan November Sampai dengan Desember 2012
2. Sampel
Sampel
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pasien dengan Nyeri Arthritis
Rheumatoid yang dirawat di RSUD Mamuju pada bulan November sampai dengan
Desember tahun 2012.
3. Sampling
Pengambilan
sampel pada penelitian ini menggunakan prosedur non random sampling, yaitu
teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang yang sama dari setiap
populasi (Hidayat, 2007).
Cara
pengambilan sampel dengan sampling aksidental yaitu pengambilan sampel yang
dilakukan dengan mengambil responden yang kebetulan bertemu atau bersedia
(Notoatmodjo, 2005).
D.
Teknik
pengumpulan data
Data
yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan menggunakan
metode observasi, mengamati dan mengukur dan mencatat kejadian yang diteliti di
RSUD Mamuju pada bulan November sampai Desember 2012.
E.
Instrumen
Penelitian
Instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini berupa Penilaian nyeri secara obyektif
(Obyektif Tool for Measuremant of pain)
diambil dari W. Chambers and Prince (Juanda,2006) untuk mengetahui penurunan
intensitas nyeri pada pasien arthritis rheumatoid di RSUD Mamuju selama bulab
November sampai Desember 2012, sebelum dan sesudah intervensi relaksasi
dilakukan.
F.
Teknik
Pengolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan
data
a. Editing
Editing
dilakukan untuk meneliti setiap item penilaian. Editing meliputi kelengkapan
pengisian, kesalahan pengisian dan konsistensi dari setiap pelaksanaan
indikator yang diteliti. Hal ini dilakukan dilapangan.
b. Koding
Pertama-tama
memberi kode dikanan lembar observasi. Pengisian berdasarkan pelaksanaan setiap
indikator yang diamati pada responden tersebut.
c. Skoring
1) memberi
skor terhadap item-item yang perlu diskor sesuai dengan yang telah ditetapkan
dalam operasional.
2) Mengubah
jenis data bila diperlukan, disesuaikan atau dimodifikasi dengan teknik
analisis yang akan digunakan.
d. Entering
Memasukkan data yang telah diskor kedalam
computer sesuai dengan keperluan dan tujuan penelitian sehingga mempermudah
untuk analisa. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program
SPSS (statistical product and service solutions).
2. Analisa
Data
Analisa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1) Analisa
Univariat
Analisa yang digunakan untuk
menganalisa tiap-tiap variabel yang ada dengan cara mendeskripsi dan menghitung
distribusi frekuensi proporsi untuk mengetahui karakteristik dari subyek
penelitian.
2) Analisa
Bivariat
Analisa bivariat adalah analisa
yang dilakukan untuk menyatakan pengaruh antara kedua variabel yang saling
berhubungan meliputi variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen
(variabel terikat). Analisis dilakukan untuk mendapatkan korelasi variabel yang
diteliti berdasarkan criteria yang ditentukan dan skala yang digunakan dengan
uji chi square.
A.
Etika
Penelitian
Etika penelitian
bertujuan untuk melindungi hak-hak subyek. Dalam penelitian ini, peneliti
menekankan masalah etika yang meliputi antara lain :
1. Informed
consent Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti
yang memenuhi kriteria inklusi, bila subyek menolak, maka peneliti tidak
memaksa dan tetap menghormati hak-hak subyek.
2. Anonimility
(Tanpa Nama)
Untuk
Menjaga kerahasiaan, peneliti tidak mencantumkan nama responden, tetapi lembar
tersebut diberi kode
3. Confidentiality
Kerahasiaan
informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian sesuai
dengankebutuhan dalam penelitian.
DAFTAR
PUSTAKA
Danis Difa. 2003. Kamus Istilah Kedokteran. Jakarta : Gita Media Press.
http://harnawatia.wordpress.com/2008/03/27/askep-apendisitis/
Juanda.2006. Pengaruh
Teknik Relaksasi terhadap Penurunan Intensitas Nyeri post operasi apendiktomi
di Ruang Perawatan Bedah RSD Gorontalo. Makassar.
Mansjoer. 2008. Kapita
Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius.
Notoatmodjo.
2002. Metodologi Penelitian
Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Potter, Patricia A. 2005.Buku ajar Fundamental : Konsep, proses dan praktek. Edisi 4 .
Jakarta. EGC.
Riyanto,Agus. 2009.Pengolahan data dan analisis data kesehatan. Jogjakarta.Muha Medika.
Saryono. 2008. Metodologi
Penelitian Kesehatan, Penuntun Praktis Bagi Pemula.
Jokjakarta : Mitra Cendikia Offset.
Schwartz. 2000. Intisari
Prinsip- Prinsip Ilmu bedah. Edisi 6. Jakarta : Buku kedokteran EGC.
Sylvia dan Wilson. 1995. Paotofisiologi, Konsep klinis Proses-proses penyakit. Jakarta: Buku
kedokteran EGC.
Tamsuri Anas. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC
Wasis. 2008. Pedoman
Riset Praktis Untuk Profesi Perawat. Jakarta : Buku kedokteran EGC.50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar