Kamis, 01 Agustus 2013

Contoh Penulisan hasil Penelitian




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Jumlah penderita Arthritis Rheumatoid di dunia saat ini telah mencapai angka 355 juta jiwa. Artinya 1 dari 6 penduduk bumi menderita penyakit arthritis rheumatoid (WHO, 2010). Sedangkan di Indonesia prevalensi Nyeri Arthritis rheumatoid 23,3% - 31,6% Dari jumlah penduduk Indonesia (Zeng Q.Y, 2010).
Menurut Laporan Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Barat Pada tahun 2010, penderita arthritis rheumatoid umur 45-54 tahun sebanyak 2.608 jiwa, umur 55-59 tahun sebanyak 1.902 jiwa, umur 60-69 tahun sebanyak 740 jiwa, umur lebih dari 70 tahun sebanyak 532 jiwa. Tahun 2011 penderita arthritis rheumatoid di Provinsi Sulawesi Barat, umur 45-54 tahun sebanyak 2.987 jiwa, umur 55-59 tahun sebanyak 1.905 jiwa, umur 60-69 tahun sebanyak 806 jiwa, dan umur lebih dari 70 tahun sebanyak 589 jiwa.
Berdasarkan Data yang diperoleh dari medical record RSUD Mamuju jumlah pasien yang menderita arthritis rheumatoid pada tahun 2011 sebanyak 307 pasien dan meningkat pada tahun 2012 sebanyak 413 pasien. Untuk itu perlu perhatian khusus terutama dalam hal meminimalkan intensitas nyeri dan komplikasinya.
Untuk mengimbangi  pesatnya perkembangan IPTEK dibidang kesehatan serta tingkat pengetahuan masyarakat yang semakin tinggi menuntut upaya penyelenggaran kesehatan yang lebih bermutu. Profesi keperawatan diupayakan untuk memenuhi pelayanan kearah kesatuan upaya peningkatan (promotive), pencegahan (preventive), penyembuhan (curative), dan pemulihan (rehabilitative) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Menanggapi hal itu, proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan equilibrium fisiologi pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien dalam kembali kefungsi optimalnya dengan cepat, aman dan senyaman mungkin (Smeltzer, 2001).
Setiap individu pernah mengalami nyeri dalam tingkatan tertentu. Nyeri merupakan alasan yang paling umum orang mencari perawatan kesehatan. Nyeri bersifat subyektif dan tidak ada individu yang  mengalami nyeri yang sama. Untuk itu perawat perlu mencari pendekatan yang paling efektif  dalam upaya pengontrolan nyeri (Potter, 2005).
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik, pembedahan dan pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding suatu penyakit manapun (Smeltzer, 2001).
Salah satu ketakutan terbesar klien Arthrtis rheumatoid adalah nyeri, padahal Untuk itu perawat perlu memberikan informasi pada klien dan keluarga klien tentang terapi yang tersedia untuk menghilangkan nyeri diantaranya latihan relaksasi. Klien harus mengetahui lamanya waktu yang diperlukan obat untuk bekerja dan seringkali tidak semua rasa tidak nyaman tersebut bisa hilang sama sekali dengan menggunakan obat analgetik (Potter, 2005).
Banyak klien Arthritis rheumatoid yang sering menghindarkan minum obat penghilang rasa nyeri karena takut menjadi ketergantungan. Namun sebagian besar dosis obat dan interval yang dibutuhkan antara waktu pemberianya tidak cukup besar sehingga dapat menimbulkan ketergantungan. Untuk itu perawat harus mendorong klien menggunakan analgetik seseuai dengan kebutuhan (Potter,
2005).
Penatalaksanaan  nyeri Arthritis rheumatoid dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara farmakologis dan non farmakaologis. Menangani nyeri secara farmakologis dilakukan  kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik. Sedangakan tindakan non farmakologis salah satunya adalah dengan memberikan
teknik relaksasi pada pasien Arthritis rheumatoid ( Smeltzer, 2001).
Banyak pasien dan anggota tim kesehatan cenderung untuk memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun begitu, banyak aktivitas keperawatan nonfarmakologis yang dapat membantu dalam menghilangkan nyeri.
Metode pereda nyeri nonfarmakologis biasanya mempunyai resiko yang sangat rendah. Meskipun tindakan-tindakan tersebut merupakan pengganti untuk obat-obatan, tindakan tersebut mungkin diperlukan atau sesuai untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau menit (Smeltzer, 2002).
Teknik relaksasi merupakan metode yang dapat dilakukan terutama pada pasien yang mengalami nyeri, merupakan latihan pernafasan yang menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung dan ketegangan otot yang menghentikan siklus nyeri, ansietas dan ketegangan otot. Teknik relaksasi perlu diajarkan bebarapa kali agar mencapai hasil yang optimal dan perlunya instruksi menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan atau mencegah meningkatnya nyeri.
Penelitian Tunner dan Jansen (1993), Almatsier dkk (1992) dalam Smeltzer, (2001), menyimpulkan bahwa relaksasi otot skletal dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang dapat menunjang nyeri hal ini dibuktikan pada penderita nyeri punggung bahwa teknik relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri pada pasien nyeri punggung. Penelitian Lorenzi, (1991) Miller & Perry,(1990) dalam Smeltzer, (2002), telah menunjukkan bahwa teknik relaksasi dapat menurunkan nyeri Arthritis rheumatoid, hal ini terjadi karena relatif kecilnya peran otot-otot skletal dalam nyeri arthritis rheumatoid atau kebutuhan pasien untuk melakukan tekhnik relaksasi agar efektif. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Juanda (2006) setelah dilakukan perlakuan pada kelompok eksperimen arthritis rheumatoid terdapat penurunan tingkat nyeri yang  sangat signifikan. Hal ini dikarenakan pelaksanaan teknik relaksasi yang cukup efektif.
Dari hasil survey sementara yang dilakukan oleh peneliti di RSUD Mamuju, umumnya perawat tidak melakukan teknik relaksasi pada pasien yang mengalami nyeri khususnya pasien arthritis rheumatoid, karena perawat hanya melaksanakan instruksi dokter berupa pemberian analgetik. Sehingga pasien masih mengalami gangguan rasa nyaman nyeri pada saat reaksi analgetik sudah hilang.
Mengingat betapa pentingnya pentingnya penatalaksanaan tindakan nonfarmakologis dalam perubahan intensitas nyeri pada pasien arthritis rheumatoid maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Arthritis Rheumatoid Di RSUD Mamuju Tahun 2012”.
B.       Rumusan Masalah.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Apakah ada Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien Arthritis rheumatoid Di RSUD Mamuju tahun 2012 ? ”.
C.      Tujuan Penelitian
1.         Tujuan Umum.
Untuk mengetahui pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri  pada pasien Arthritis rheumatoid Di RSUD Mamuju Tahun 2012
2.         Tujuan Khusus
a.         Mengidentifikasi intensitas nyeri pada pasien Arthritis rheumatoid sebelum teknik relaksasi Di RSUD Mamuju tahun 2012.
b.        Mengidentifikasi intensitas nyeri pada pasien Arthritis rheumatoid setelah teknik relaksasi Di RSUD Mamuju tahun 2012.
c.         Mengidentifikasi pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien Arthritis rheumatoid Di RSUD Mamuju tahun2012.
D.      Manfaat  Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai :
1.         Maanfat praktis
a.         Bagi Sumah Sakit Umum Daerah Mamuju
Bahan masukan kepada pihak RSUD Mamuju, terutama kepada bidang keperawatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan dengan memberikan teknik relaksasi untuk penurunan intensitas nyeri pada pasien Arthritis rheumatoid.
b.        Bagi institusi
Dapat dijadikan tambahan pustaka dan referensi untuk penelitian selanjutnya
2.         Manfaat bagi ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan yang dapat menambah wawasan khususnya mengenai penanganan nyeri arthritis rheumatoid.
3.         Manfaat bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan peneliti dan menggali wawasan serta mampu menerapkan ilmu yang telah didapatkan tentang penatalaksanaan intensitas nyeri agar dapat merencanakan dan melakukan evaluasi permasalahan dan pemecahan masalah terutama yang berkaitan dengan kasus nyeri arthritis rheumatoid.
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.    Tinjauan Tentang Intensitas Nyeri
1.      Defenisi
Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (International Association for Study of Pain, IASP 2001).
Mendefinisikan, nyeri sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang yang keberadaannya diketahui hanya jika orang tersebut pernah mengalaminya (Mc. Coffery, 2001).
Mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan ketegangan (Wolf Weifsel Feurst, 2001).
Nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri (Arthur C. Curton, 2000).
2.      Penyebab Nyeri
a.       Trauma:
1)      Mekanik, Rasa nyeri timbul akibat ujung-ujung saraf bebas mengalami kerusakan. misalnya akibat benturan, gesekan, luka dan lain-lain.
2)      Thermis, Nyeri timbul karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas dan dingin. misal karena api dan air.
3)      Khemis, Timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam atau basa kuat.
4)      Elektrik, Timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar.
b.      Peradangan, Nyeri terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan. Misalnya : abses
c.       Gangguan sirkulasi darah dan kelainan pembuluh darah
d.      Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya penekanan pada reseptor nyeri.
e.       Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri.
f.       Iskemi pada jaringan, misalnya terjadi blokade pada arteri koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat.
g.      Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik.
3.      Fisiologi nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a.    Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan
b.    Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
4.      Klasifikasi  Nyeri
a.       Menurut tempatnya:
1)      Periferal Pain
a)      Superfisial Pain (Nyeri Permukaan)
b)      Deep Pain (Nyeri Dalam)
c)      Reffered Pain (Nyeri Alihan), nyeri yang dirasakan pada area yang bukan merupakan sumber nyerinya.
2)      Central Pain, Terjadi karena perangsangan pada susunan saraf pusat, spinal cord, batang otak dan lain-lain.
3)      Psychogenic Pain, Nyeri dirasakan tanpa penyebab organik, tetapi akibat dari trauma psikologis.
4)      Phantom Pain, Phantom Pain merupakan perasaan pada bagian tubuh yang sudah tak ada lagi. contohnya pada amputasi, Phantom pain timbul akibat dari stimulasi dendrit yang berat dibandingkan dengan stimulasi reseptor biasanya. Oleh karena itu, orang tersebut akan merasa nyeri pada area yang telah diangkat.
5)      Radiating Pain, Nyeri yang dirasakan pada sumbernya yang meluas ke jaringan sekitar.
6)      nyeri somatis dan nyeri viseral
7)      kedua nyeri ini umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit (superfisial) pada otot dan tulang.
b.      Menurut Sifatnya:
1)      Insidentil : timbul sewaktu-waktu dan kemudian menghilang.
2)      Steady : nyeri timbul menetap dan dirasakan dalam waktu yang lama.
3)      Paroxysmal : nyeri dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali dan biasanya menetap 10 – 15 menit, lalu menghilang dan kemudian timbul kembali.
4)      Intractable Pain : nyeri yang resisten dengan diobati atau dikurangi. Contoh pada arthritis, pemberian analgetik narkotik merupakan kontraindikasi akibat dari lamanya penyakit yang dapat mengakibatkan kecanduan.
c.       Menurut Berat Ringannya :
1)      Nyeri ringan : dalam intensitas rendah
2)      Nyeri sedang : menimbulkan suatu reaksi fisiologis dan psikologis
3)      Nyeri Berat : dalam intensitas tinggi

d.      Menurut Waktu Serangan nyeri:
1)      Nyeri Akut
Nyeri akut biasanya berlangsung singkat, misalnya nyeri pada fraktur. Klien yang mengalami nyeri akut baisanya menunjukkan gejala-gejala antara lain : perspirasi meningkat, Denyut jantung dan Tekanan darah meningkat, dan pallor
2)      Nyeri Kronis
Nyeri kronis berkembang lebih lambat dan terjadi dalam waktu lebih lama dan klien sering sulit mengingat sejak kapan nyeri mulai dirasakan. 
5.      Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007).
Menurut smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :
a.       skala intensitas nyeri deskritif



a.       

b.      Skala identitas nyeri numerik





c.       Skala analog visual



a.       

d.      Skala nyeri menurut bourbanis



Keterangan :
1)      0 : Tidak nyeri
2)      1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
3)      4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,  menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
4)      7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat
5)      mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
6)      10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan.
Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Potter, 2005).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter, 2005).
6.      Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
a.       Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan.
b.      Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri.
c.       Makna nyeri Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri dan dan bagaimana mengatasinya.
d.      Ansietas Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas.
e.       Pengalaman masa lalu Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
f.       Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang mengatasi nyeri.
g.      Support keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan perlindungan
B.     Tinjauan Tentang Teknik Relaksasi
1.      Definisi
Relaksasi adalah salah satu tehnik dalam terapi perilaku yang dikembangkan oleh Jacobson dan Wolpel untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan (Ramdhani dan Putra, 2006 ).
Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan napas secara perlahan, Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002).
Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot, yang menghentikan siklus nyeri-ansietas-ketegangan otot (McCaffery, 2002).
2.      Tujuan
Smeltzer & Bare (2002) menyatakan bahwa tujuan teknik relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, meningkatkan efesiensi batuk, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.
3.      Prosedur teknik relaksasi napas dalam (Priharjo, 2003) Bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi (Priharjo, 2003). Adapun langkah-langkah teknik relaksasi napas dalam adalah sebagai berikut :
a.       Ciptakan lingkungan yang tenang
b.      Usahakan tetap rileks dan tenang
c.       Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara melalui hitungan 1,2,3 Perlahan-lahan udara dihembuskan melalui mulut sambil merasakan ekstrimitas atas dan bawah rileks
d.      Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali
e.       Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut secara perlahan-lahan
f.       Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks
g.      Usahakan agar tetap konsentrasi / mata sambil terpejam
h.      Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri
i.        Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang
j.        Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.
k.      Bila nyeri menjadi hebat, seseorang dapat bernafas secara dangkal dan cepat.
4.      Faktor-faktor yang mempengaruhi teknik relaksasi napas dalam terhadap penurunan nyeri
Teknik relaksasi napas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme yaitu :
a.       Dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemic.
b.      Teknik relaksasi napas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod endogen yaitu endorphin dan enkefalin (Smeltzer & Bare, 2002)
c.       Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat
Relaksasi melibatkan sistem otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah dilakukan kapan saja atau sewaktu-waktu.
Prinsip yang mendasari penurunan nyeri oleh teknik relaksasi terletak pada fisiologi sistem syaraf otonom yang merupakan bagian dari sistem syaraf perifer yang mempertahankan homeostatis lingkungan internal individu. Pada saat terjadi pelepasan mediator kimia seperti bradikinin, prostaglandin dan substansi, akan merangsang syaraf simpatis sehingga menyebabkan vasokostriksi yang akhirnya meningkatkan tonus otot yang menimbulkan berbagai efek seperti spasme otot yang akhirnya menekan pembuluh darah, mengurangi aliran darah dan meningkatkan kecepatan metabolisme otot yang menimbulkan pengiriman impuls nyeri dari medulla spinalis ke otak dan dipersepsikan sebagai nyeri.

BAB III
KERANGKA KONSEP

A.    Dasar Pemikiran Variabel
Nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan (International Association for Study of Pain, IASP 2001).
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit autoimun (penyakit yang terjadi pada saat tubuh diserang oleh sistem kekebalan tubuhnya sendiri) yang mengakibatkan peradangan dalam waktu lama pada sendi. Penyakit ini menyerang persendian, biasanya mengenai banyak sendi, yang ditandai dengan radang pada membran sinovial dan struktur-struktur sendi serta atrofi otot dan penipisan tulang (Susan Martin Tucker, 2008).
Relaksasi merupakan metode yang efektif terutama pada pasien yang mengalami nyeri kronis. Latihan pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot, yang menghentikan siklus nyeri-ansietas-ketegangan otot (McCaffery, 2002).
Jadi, Pada Penderita Arthritis Rheumatid terjadi peradangan pada sendi yang menyebabkan nyeri kronis. Teknik Relaksasi merupakan metode yang efektif untuk mengurangi intensitas nyeri terutama pada nyeri kronis
B.    
Intensitas Nyeri pada Arthritis rheumatoid
Pola Pikir Variabel

Teknik relaksasi
 




-Pengalaman
-masa lalu
-Pola koping
-Makna nyeri
Ansietas Cemas
a.       Kultur
b.      Usia

 




Keterangan :                                  : Variabel Independen
                                                     
                              : Variabel Dependen
                             
                              : Variabel yang Tidak Diteliti


C.    Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1.      Intensitas Nyeri
a.       Definisi operasional
Intensitas Nyeri dalam Penelitian Ini adalah tingkat keparahan nyeri yang di ukur dengan menggunakan skala Deskriptif.
b.      Kriteria Objektif
1)      Skala 0 : Tidak nyeri
2)      Skala 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
3)      Skala 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,  menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
4)      Skala 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya.
5)     Skala 10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
2.      Teknik relaksasi
a.       Definisi operasional
teknik relaksasi dalam penelitian ini adalah teknik menurunkan konsumsi oksigen, frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan ketegangan otot, yang menghentikan siklus nyeri-ansietas-ketegangan otot.
b.      Kriteria Objektif
Bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernapasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diagfragma selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi.

D.    Hipotesis Penelitian
Dari kerangka teori diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah “Ada Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap penurunan Intensitas Nyeri Pada Pasien Arthritis Rheumatoid di RSUD Mamuju tahun 2012”.










BAB IV
METODE PENELITIAN

A.    Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional study yang menghubungkan variable independen dengan variable dependen pada saat bersamaan.
Dalam penelitian ini akan mengamati objek yang diteliti dengan mengukur pengaruh teknik relaksasi terhadap penurunan intensitas nyeri pada pasien arthritis rheumatoid di RSUD Mamuju tahun 2012 pada saat yang bersamaan.

B.     Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2012 di Rumah Sakit Umum daerah (RSUD) Mamuju.
C.    Populasi dan Sampel, dan sampling
1.      Populasi
Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seluruh Pasien Arthritis Rheumatoid yang dirawat di RSUD Mamuju pada bulan November Sampai dengan Desember 2012
2.      Sampel
Sampel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pasien dengan Nyeri Arthritis Rheumatoid yang dirawat di RSUD Mamuju pada bulan November sampai dengan Desember tahun 2012.
3.      Sampling
Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan prosedur non random sampling, yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang yang sama dari setiap populasi (Hidayat, 2007).
Cara pengambilan sampel dengan sampling aksidental yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan mengambil responden yang kebetulan bertemu atau bersedia (Notoatmodjo, 2005).
D.    Teknik pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan menggunakan metode observasi, mengamati dan mengukur dan mencatat kejadian yang diteliti di RSUD Mamuju pada bulan November sampai Desember 2012.
E.     Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa Penilaian nyeri secara obyektif (Obyektif  Tool for Measuremant of pain) diambil dari W. Chambers and Prince (Juanda,2006) untuk mengetahui penurunan intensitas nyeri pada pasien arthritis rheumatoid di RSUD Mamuju selama bulab November sampai Desember 2012, sebelum dan sesudah intervensi relaksasi dilakukan.
F.     Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1.      Pengolahan data
a.       Editing
Editing dilakukan untuk meneliti setiap item penilaian. Editing meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian dan konsistensi dari setiap pelaksanaan indikator yang diteliti. Hal ini dilakukan dilapangan.
b.      Koding
Pertama-tama memberi kode dikanan lembar observasi. Pengisian berdasarkan pelaksanaan setiap indikator yang diamati pada responden tersebut.
c.       Skoring
1)      memberi skor terhadap item-item yang perlu diskor sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam operasional.
2)      Mengubah jenis data bila diperlukan, disesuaikan atau dimodifikasi dengan teknik analisis yang akan digunakan.
d.      Entering
Memasukkan data yang telah diskor kedalam computer sesuai dengan keperluan dan tujuan penelitian sehingga mempermudah untuk analisa. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program SPSS (statistical product and service solutions).
2.      Analisa Data
Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1)      Analisa Univariat
Analisa yang digunakan untuk menganalisa tiap-tiap variabel yang ada dengan cara mendeskripsi dan menghitung distribusi frekuensi proporsi untuk mengetahui karakteristik dari subyek penelitian.
2)      Analisa Bivariat
Analisa bivariat adalah analisa yang dilakukan untuk menyatakan pengaruh antara kedua variabel yang saling berhubungan meliputi variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (variabel terikat). Analisis dilakukan untuk mendapatkan korelasi variabel yang diteliti berdasarkan criteria yang ditentukan dan skala yang digunakan dengan uji chi square.
A.       Etika Penelitian
Etika penelitian bertujuan untuk melindungi hak-hak subyek. Dalam penelitian ini, peneliti menekankan masalah etika yang meliputi antara lain :
1.      Informed consent Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi kriteria inklusi, bila subyek menolak, maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak subyek.
2.      Anonimility (Tanpa Nama)
Untuk Menjaga kerahasiaan, peneliti tidak mencantumkan nama responden, tetapi lembar tersebut diberi kode
3.      Confidentiality
Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian sesuai dengankebutuhan dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Danis Difa. 2003. Kamus Istilah Kedokteran. Jakarta : Gita Media Press.
http://harnawatia.wordpress.com/2008/03/27/askep-apendisitis/
Juanda.2006. Pengaruh Teknik Relaksasi terhadap Penurunan Intensitas Nyeri post operasi apendiktomi di Ruang Perawatan Bedah RSD Gorontalo. Makassar.
Mansjoer. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Edisi 3. Jakarta : Media Aesculapius.
Notoatmodjo.  2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Potter, Patricia A. 2005.Buku ajar Fundamental : Konsep, proses dan praktek. Edisi 4 . Jakarta. EGC.
Riyanto,Agus. 2009.Pengolahan data dan analisis data kesehatan. Jogjakarta.Muha Medika.
Saryono. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan, Penuntun Praktis Bagi Pemula.
Jokjakarta : Mitra Cendikia Offset.
Schwartz. 2000. Intisari Prinsip- Prinsip Ilmu bedah. Edisi 6. Jakarta : Buku kedokteran EGC.
Sylvia dan Wilson. 1995. Paotofisiologi, Konsep klinis Proses-proses penyakit. Jakarta: Buku kedokteran EGC.
Tamsuri Anas. 2007. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC
Wasis. 2008. Pedoman Riset Praktis Untuk Profesi Perawat. Jakarta : Buku kedokteran EGC.50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar